Banjarnegara : Dalam pergaulan sehari-hari di masyarakat, tentu kita sering dihadapkan dan tidak asing dengan pinjam meminjam uang, pinjam meminjam barang, maupun jual beli barang dalam bentuk apapun. Dalam istilah hukum, semua tindakan tersebut adalah apa yang dinamakan sebagai sebuah hubungan hukum.
Ketika masyarakat melakukan tindakan-tindakan seperti yang tersebut , sering juga berakhir dengan berbagai macam permasalahan. Mulai dari pinjaman uang yang tidak dilunasi oleh peminjam, pinjaman barang yang malah dijual atau digadaikan oleh peminjam dan lain sebagainya.
Terhadap hal-hal tersebut dalam dialog Jaksa Menyapa di RRI Purwokerto Kamis ( 10/10/2019 ) Jaksa Fungsional Kejari Banjarnegara Rasyid Yuliansyah, SH, MH menjelaskan , perlu adanya hal-hal yang dipahami oleh masyarakat, bahwa tidak semua permasalahan hukum terhadap hal tersebut merupakan ranah hukum pidana, akan tetapi juga menyangkut pula ranah hukum perdata.
"Disinilah kita akan melakukan pembahasan apakah itu masuk perdata atau pidana, terhadap hal ini bahwa pemahaman yang benar terhadap suatu peristiwa hukum akan sangat menentukan langkah-langkah hukum yang tepat dalam mengatasi permasalahan tersebut. Sehingga tidak akan terjadi buang-buang waktu, tenaga, dan pikiran dikarenakan salah dalam mengambil langkah,"katanya.
Sebagai contoh pinjam meminjam pada dasarnya adalah suatu peristiwa hukum beraspek perdata berupa perjanjian atau perikatan sebagaimana diatur dan dijelaskan dalam Buku ke III KUHPerdata dan terutama ruhnya yang terletak di Pasal 1320 KUHPerdata
"Sahnya perjanjian atau perikatan bila telah meliputi sepakat Para Pihak, Kecakapan Para Pihak, Suatu Hal Tertentu, dan Sebab Yang Halal. Juga di dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, "katanya.
Tentu dikarenakan dimulai dari suatu peristiwa yang sifatnya keperdataan, maka pelanggaran terhadap hal ini juga merupakan pelanggaran hukum yang bersifat keperdataan (Onrechtmatigdaad) yang dikenali dengan sebutan Wanprestasi. Akan tetapi, dalam hal-hal tertentu, suatu hal yang secara umum merupakan sebuah kesepakatan yang bersifat keperdataan dapat bersifat melanggar hukum secara pidana.(*)
cokie
"Misalnya adanya pemberian sesuatu hal (bisa barang, uang, dsb.) atau memberikan hutang maupun menghapuskan piutang meskipun itu terjadi karena kesepakatan, yang pemberian itu bisa terjadi oleh karena adanya penggunaan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat, ataupun serangkaian kata-kata bohong, Dalam hal ini yang menerima pemberian itu bisa dikenakan Pasal 378 KUHPidana tentang penipuan dengan ancaman pidana maksimal empat tahun penjara,"katanya.
Ditambahkan dalam hal setelah ada kesepakatan pinjam meminjam, ternyata barang yang telah dipinjam itu dipergunakan dengan tidak sebagaimana mestinya dan merugikan pihak yang telah meminjamkan. Semisal oleh peminjam barang tersebut dijual atau digadaikan dengan tidak sepengetahuan yang telah meminjamkan barang tersebut. Maka terhadap peminjam dapat dikenakan Pasal 372 KUHPidana tentang Penggelapan dengan Ancaman Pidana maksimal empat tahun penjara.
Sementara mengenai Jual Beli, Sama halnya dengan pinjam meminjam. Jual Beli juga sesungguhnya adalah suatu peristiwa hukum beraspek perdata dan juga merupakan suatu wujud perikatan yang pengaturannya terdapat dalam Buku ke III KUHPerdata.
Definisi Jual Beli sendiri menurut Pasal 1457 KUHPerdata adalah suatu perjanjian atau persetujuan atau kontrak di mana satu pihak mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lainnya yang mengikatkan dirinya untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Secara umum dalam kondisi tertentu jika pihak yang menawarkan barang menggunakan nama palsu, keadaan palsu, tipu muslihat, ataupun serangkaian kata-kata bohong maka hal tersebut juga dapat dikenakan Pasal penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHPidana dengan ancaman penjara maksimal empat tahun. Akan tetapi pasca terbitnya Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sesuai ketentuan dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal
10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17, ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e,, ayat (2), dan Pasal 18 jo. Pasal 62 UU RI Nomor 8 Tahun 1999 maka pihak pelaku usaha yang merugikan konsumen sebagaimana yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dikenakan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
"Oleh karena itu dalam hubungan perikatan berupa jual beli memang harus hati-hati dikarenakan sangat tipisnya aspek perdata dengan aspek pidana yang bisa berimbas berupa ancaman pidana penjara atau ancaman denda,"Pungkasnya.(Coki /Indah )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar